Sunday, June 3, 2012

review jurnal perlindungan konsumen

1.AnggitDanisa20210841
   (visit her blog's here)
2. Bunga Restarina 21210491
    (visit her blog's here)
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
4. Maulana 24210261
    (visit his blog's here )
5. Supra Andalini F S 26210742
    (visit her blog's here)

Judul         : Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik
Pengarang : Jabalnur, Dosen Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari

Abstract 
Consumerism internet banking then can be pulled a conclusion of internet user banking that
conducted by banking specially bank mandiri guarantees secretness and security where bank mandiri
use encryption technology secure socker layer (SSL) 128 beet and methods time out session, where
after 10 minute without client activity, will access will be inactive next. In other hand system law
Indonesia melindunggi internet consumer banking with Undang-undang Nomor 8 soybean cakes
1998 Consumerism Tentangs section 5 letter hs. Code No. 10 Tahuns 1998 “Perbankans section 29
verses 5”. Code No. 36 Tahuns 1999 “Telekomunikate” and UU “Company document”. Thus
internet user banking in Indonesia bases law rule has got law protection.
Keyword: Consumerism, Transaction Elektronic.

1. Pendahuluan 
Sistem informasi dan teknologi yang semakin berkembang ini, mengubah perilaku konsumen. Dalam hal melakukan transaksi bisnis maupun transaksi lainnya, konsumen kini sangat mengedepankan aspek praktis,
fleksibilitas, dan efisiensi. Realita ini tentunya merupakan suatu tantangan besar bagi industri perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Bank dan lembaga keuangan lainnya sangat berperan dalam melayani konsumen dalam halmemberikan kemudahan dan keamanan yang tidak memberatkan konsumen serta tidak berbelit-belit.
Berdasarkan ketentuan pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, maka menurut jenisnya, bank dapat dibedakan menjadi
sebagai berikut: (1) Bank Umum yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau prinsip syariah yang dalam kegiatanya memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran. (2) Bank perkreditan rakyat yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariat yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran.
Secara konseptual, lembaga keuangan bank dalam menawarkan layanan internet banking dilakukan melalui dua jalan, pertama melalui bank konvensional dengan reperentasi kantor secara fisik menetafkan suatu website dan menawarkan kepada nasabahnya dan hal ini merupakan penyerahan secara tradisional .kedua suatu bank mungkin mendirikan suatu virtual bank dapat menawarkan kepada nasabahnya kemampuan untuk menyimpan deposito dan tagihan dana pada ATM atau bentuk lain yang dimilikinya.
Tentunya dapat disadari pula bahwa aspek-aspek negatif dari system informasi teknologi yang begitu tinggi membawa inbas negative sehingga pelanggaran dan kejahatan yang semula dalam kehidupan konvensional
tidak dapat ditemukan dewasa kini dengan mudah dapat dilakukan oleh individu atau kelompok dengan akibat kerugian yang begitu besar bagi masyarakat dan bahkan Negara.
Teknik hacker yang dapat menjebol ataupun mencuri bahan informasi berharga bagi
masyarakat dan bahkan Negara. Teknik hacker yang dapat menjebol atau mencuri
bahan informasi berharga dan juga pembobolan keuangan diperbankkan yang menimbulkan kerugiaan bagi nasabah tidak dapat terhindar. Berbagai penyimpangan tersebut menuntut adanya system hukum yang efektif dan andal dalam mencegah dan menanggulangi berbagai kejahatan cyber kedepan.

2. Pembahasan 
2. 1 Perlindungan Hukum dengan Pendekatan Self Regulation.
Perlindungan hukum preventif atas data pribadi nasabah dalam penyelenggaraan layanan internet banking dengan pendekatan pengaturan hukum secara internal dari penyelenggara layann internet banking itu sendiri. Bank Mandiri mempersyaratkan untuk melakukan pendaftaran . apabila langka ini telah dilakukan , layanan dari Bank Mandiri dapat diakses melalui layanan internet bankingnya. Oleh karena itu, layanan internet banking sifatnya merupakan media bagi pemasaran produk dan sekaligus sebagai sarana mempermudah transaksi, di mana transaksi dapat dilakukan secara online. Dengan langka preventif yang dilakukan bank mandiri maka data pribadi nasabah dapat dilindungi dari para hecker. Sebab Bank Mandiri mengunakan system teknologi enkripsi secure socket layer (SSL) 128 bit yang akan menlindungi komunikasi antara computer nasabah dengan server Bank Mandiri. Untuk menambah keamanan digunakan metode time out session,di mana setelah 10 menit tanpa aktivitas nasabah, akses akan tidak aktif lagi.

2. 2 Perlindungan Hukum dengan Pendekatan Government Regulation.
Perlindungan hukum atas data pribadi nasabah dalam penyelenggaraan internet banking dengan pendekatan government regulation menitik beratkan pada sekumpulan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah. Ada Beberapa ketentuaan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan dalam pasal 29 ayat 5 dan ayat 40 ayat 1 dan 2. didalam pasal 29 ayat 5 menyatakan “ untuk kepentingan nasabah bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugiaan bagi transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Dalam penjelasan pasal ini bank bekerja dengan dana masyarakat disimpan di bank dengan atas dasar kepercayaan. Dengan demikiaan setiap bank harus menjaga kesehataannya dan memelihara kepercayaan masyarakat kepadanya. Beberapa ketentuam yang dapat dijadikan landasan dalam perlindungan hukum bagi konsumen atas data peribadi nasabah dalam penyelenggaraaan internet banking yakni Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Eloktronik, Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan penerapan Undangundang Telekomunikasi untuk mencermati perlindungan data peribadi nasabah disebabkan bahwa penyelenggaraan internet banking pada dasarnya tidak akan terlepas dari penggunaaan jasa telekomunikasi. Pasal 22 Undang-undang Telekomunikasi menyatakan sebagai berikut, “ setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi: (1) Akses ke jaringan telekomunikasi dan atau; (2) Akses ke jasa telekomunikasi dan atau; (3) Akses ke jaringan telekomunikasi khusus. Bagi para pihak yang melakukan pelanggaran akan di kenakan sanksi pidana sebagai mana yang di atur dalam pasal 50 Undang-Undang Telekomunikasi. “ barang siapa yang melanggar ketentuaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).

3. Kesimpulan 
Dari uraian di atas dalam pembahasan perlindungan konsumen internet banking maka dapat ditarik suatu kesimpulan pengguna internet banking yang dilakukan oleh perbankan khususnya Bank Mandiri menjamin kerahasiaan dan keamanan dimana Bank Mandiri menggunakan teknologi enkripsi secure socker layer (SSL) 128 bit dan metode time out session, dimana setelah 10 menit tanpa aktivitas nasabah, akses akan tidak aktif lagi. Selain itu system hukum Indonesia melindunggi konsumen internet banking dengan Undang-Undang Nomor 8 tahu 1998 Tentang Perlindungan Konsumen pasal 5 huruf h. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan pasal 29 ayat 5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang Tentang Dokumen Perusahaan. Jadi pengguna internet banking di Indonesia berdasarkan aturan hukum sudah mendapatkan perlindungan hukum.

4. Daftar Pustaka 
Agus Budi Riswandi. 2005. Aspek Hukum Internet Banking. Raja Wali Pres. Jakarta
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani. 2003. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Mieke Komar Kantaatmadja, et. Al. 2002. Cyberlaw Sebagai Pengantar, ELIPS. Bandung.
Sri, Y. Susilo. 2000. Bank dan Lembaga keuangan lain. Salemba empat Jakarta.
Subekti. 1984. Hukum Perjanjian. Intermasa, Jakarta.

sumber: http://jurnal.unhalu.ac.id/download/jabal/PERLINDUNGAN%20KONSUMEN%20DALAM%20TRANSAKSI%20ELOKTRONIK.pdf

review jurnal wajib daftar perusahaan

Tugas Kelompok (2EB06):

1.AnggitDanisa20210841
   (visit her blog's here)
2. Bunga Restarina 21210491
    (visit her blog's here)
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
4. Maulana 24210261
    (visit his blog's here )
5. Supra Andalini F S 26210742
    (visit her blog's here)
Judul : Wajib Daftar Perussahaan Sebelum Dan Sesudah Berlakuanya UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Pengarang : Wahyuni Safitri, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda)
Abstrak :

       Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1982  tentang Wajib Daftar Perusahaan bermanfaat bagi pemerintahan, dunia usaha maupun pihak lain yang ditujukan untuk mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara resmi yang berkepentingan dalam rangka menjamin kepastian berusaha dan mejadi alat bukti perusahaan yang berdomisili di Negara Indonesia.
Pendahuluan :

       Dengan melihat dasar pertimbangan dan Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan (UUWDP), daftar perusahaan adalah daftar catatan resmi yang dipergunakan oleh Pemerintah, Dunia Usaha dan pihak lain. Terdapat 3 manfaat dari masing-masing pihak:
      a.    Pemerintah
Untuk kepentingan pengamanan pendapatan Negara yang memerlukan informasi yang akurat
      b.    Dunia Usaha
Sebagai sumber informasi untuk kepentingan usahanya dan untuk mencegah praktek usaha yang tidak jujur.
      c.    Pihak lain
Bagi yang berkepentingan atau masyarakat yang memerlukan informasi yang benar.
     Pada pasal 2 UUWDP adalah untuk mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat dengan benar dari suatu perusahaan dan merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas, data serta keterangan lainnya tentang perusahaan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan dalam rangka menjamin kepastian berusaha, seperti yang terdapat dalam pasal 3 UUWDP yaitu daftar perusahaan bersifat terbuka untuk semua pihak dan pasal 4 nya setiap pihak yang berkepentingan setelah memenuhi biaya administrasi yang ditetapkan oleh menteri, berhak memperoleh keterangan yang diperlukan dengan cara mendapatkan salinan dari keterangan yang tercantum dalam daftar perusahaan yang sebagai alat bukti yang akurat.
Pembahasan :

A. DASAR HUKUM  WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN
 
       Pertama kali diatur dalam Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 23 : Para persero firma diwajibkan mendaftarkan akta dalam register yang disediakan untuk kepaniteraan raad van justitie (pengadilan Negeri) daerah hukum tempat kedudukan perseroan. Selanjutnya pasal 38 KUHD : Para persero diwajibkan untuk mendaftarkan akta dalam keseluruhannya beserta ijin yang diperolehnya dalam register yang diadakan. Untuk itu, pada panitera raad van justitie dari daerah hukum kedudukan perseroan itu, dan mengumumkannya dalam surat kabar resmi. Dari kedua pasal di atas firma dan perseroan terbatas diwajibkan mendaftarkan akta pendiriannya pada pengadilan negeri tempat kedudukan perseroan itu berada, selanjutnya pada tahun 1982 wajib daftar perusahaan diatur dalam ketentuan tersendiri yaitu UUWDP yang tentunya sebagai ketentuan khusus menyampingkan ketentuan KUHD sebagai ketentuan umum.
       Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan UUWDP (Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan) pada tahun 1998 diterbitkan Keputusan Menperindag No.12/MPP/Kep/1998 yang kemudian diubah dengan Keputusan Menperindag No.327/MPP/Kep/7/1999 tentang penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan serta Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan. Keputusan ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan bahwa perlu diadakan penyempurnaan guna kelancaran dan peningkatan kualitas pelayanan pendaftaran perusahaan, pemberian informasi, promosi, kegunaan pendaftaran perusahaan bagi dunia usaha dan masyarakat, meningkatkan peran daftar perusahaan serta menunjuk penyelenggara dan pelaksana WDP (Wajib Daftar Perusahaan).
B. WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN SETELAH ADANYA UU No. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
       Setelah resmi berlakunya Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas pada tanggal 16 Agustus 2007 yang merupakan pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1995 dalam Pasal 157 ayat 2 disebutkan bahwa Anggaran dasar dan perseroan yang belum memperoleh status badan hukum atau anggaran dasar yang perubahannya belum disetujui atau dilaporkan kepada Menteri pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, wajib disesuaikan dengan UUPT yang baru. Salah satu ketentuan baru dalam UUPT baru adalah pengajuan permohonan pendirian PT dan penyampaian perubahan anggaran dasar secara online dengan mengisi daftar isian yang dilengkapi dokumen pendukung melalui sistem yang dikenal yaitu Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH). Terdapat banyak metode penafsiran hukum, salah satu metode penafsiran hukum yang digunakan dalam konteks ini adalah metode penafsiran sistematis, kita harus membaca undang-undang dalam keseluruhannya, kita tidak boleh mengeluarkan suatu ketentuan lepas dari keseluruhannya, tetapi kita harus meninjaunya dalam hubungannya dengan ketentuan sejenis, antara banyak peraturan terdapat hubungan yang satu timbul dan yang lain seluruhnya merupakan satu system besar.
Kesimpulan :

       Dalam uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dapat disimpulkan bahwa UUWDP masih tetap berlaku bagi badan, hukum lainnya selain badan hukum yang berbentuk PT seperti Firma, Persekutuan Komanditer (CV), Koperasi dan bentuk usaha perorangan, tetapi yang berkaitan dengan pendaftaran perseroan bagi PT tidak lagi merujuk UUWDP tetapi kepada UUPT No 40 tahun 2007. Daftar Perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut aturan atau berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan. Daftar catatan resmi ini terdiri dari formulir-formulir yang memuat catatan lengkap mengenai hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan. Maka sudah seharusnya semua perusahaan di Indonesia mendaftarkan perusahaannya, ini merupakan tanggung jawab hukum yang dimiliki para pemilik perusahaan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
I.G.Rai Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-Undang di Bidang Hukum Perusahaan, cetakan keenam Bekasi, Kesaint Blanc, Maret, 2006
Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung, citra Aditya Bakti, 1993.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cetakan ketiga, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Nomor. M. HH. 03. AH. 01. 01 Tahun 2009 Tentang Daftar Perseroan.

review jurnal hukum perdata


Tugas Kelompok (2EB06):
1.AnggitDanisa 20210841
2. Bunga Restarina 21210491
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
4. Maulana 24210261
5. Supra Andalini F S 26210742
Judul   : WUJUD GANTI RUGI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Pengarang : M. Tjoanda
Abstrak :
Agreement is a legal relationship between two people or more, which creates certain rights and obligations. In terms of the debtor or the debt does not meet its obligations or does not meet its obligations as they should and not fulfilled that obligation because there is an element of him, then the lender has the right to demand restitution, This is what this writing melatar belakangi How problems with the form of compensation according to the Book of Law Civil Law? The results obtained that the compensation as a result of default set out in the Book of Civil Law Act, may also apply for compensation as a result of an unlawful act. Given the form of material loss and imateriil, then a form of compensation can be either kind (some money) or innatura.
Pendahuluan :
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkana mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.Tuntutan atau kewajiban tersebut lazimnya disebut sebagai prestasi. Pasal 1234 KUHPerdata :
“ Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Menurut Pasal 1234 KUH Perdata prestasi itu dibedakan atas :
1. Memberikan sesuatu
2. Berbuat sesuatu
3. Tidak berbuat sesuatu
Dalam hal debitur atau si berutang tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena ada unsur salah padanya, maka ada akibat-akibat hukum yang bisa menimpa dirinya.
Pertama-tama, sebagai yang disebutkan dalam pasal 1236 KUHPerdata dan 1243 KUHPerdata
Kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga.Akibat hukum seperti ini menimpa debitur baik dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu.
Bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik, maka berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata maka kreditur berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi.Tetapi kesemuanya itu tidak mengurangi hak dari kreditur untuk tetap menuntut pemenuhan.
Apabila salah satu pihak dalam perikatan merasa dirugikan oleh pihak lainnya dalam perikatan tersebut, maka hukum memberikan wahana bagi pihak yang merasa dirugikan tersebut untuk melakukan gugatan ganti rugi.Hal inilah yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penulisan dengan permasalahan bagaimana wujud ganti rugi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
Pembahasan :
1.      Pengertian Kerugian
Pengertian kerugian menurut R. Setiawan, adalah kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi.Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan mem-bandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan jika sekiranya tidak terjadi wanprestasi.
Pengertian kerugian yang hampir sama dikemukakan pula oleh Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi. Kerugian nyata ini ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur.
Pengertian kerugian yang lebih luas dikemukakan oleh Mr. J. H. Nieuwenhuis sebagaimana yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak yang lain4. Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh Nieuwenhuis di sini adalah berupa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.
Bila kita tinjau secara mendalam, kerugian adalah suatu pengertian yang relatif, yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan. Kerugian adalah selisih (yang merugikan) antara keadaan yang timbul sebagai akibat pelanggaran norma, dan situasi yang seyogyanya akan timbul anadaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi.
Pengertian kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya (bagaiaman dalam kenyataannya keadaan harta kekayaan sebagai akibat pelanggaran norma) dengan situasi hipotesis (situasi itu akan menjadi bagaimana andaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi). Sehingga dapat ditarik suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi berkurangnya harta kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu perikatan (baik melalui perjanjian maupun melalui undang-undang) dikarenakan pelanggaran norma oleh pihak lain.
2.      Unsur-Unsur Ganti Rugi
Dalam pasal 1246 KUHPerdata menyebutkan :
“ biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut di bawah ini.”
Menurut Abdulkadir Muhammad, dari pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik unsur-unsur ganti rugi adalah sebagai berikut :
(a) Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak, biaya meterai, biaya iklan.
5 Ibid.
(b) Kerugian karena kerusakan, kehilangan ata barng kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah-buahan karena keterlambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar.
(c) Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan keutungan yang diharapkannya. Misalnya A akan menerima beras sekian ton dengna harga pembelian Rp. 250,00 per kg. Sebelum beras diterima, kemudian A menawarkan lagi kepada C dengan harga Rp. 275,00 per kg. Setelah perjanjian dibuat, ternyata beras yang diharapkan diterima pada waktunya tidak dikirim oleh penjualnya. Di sini A kehilangan keutungan yang diharapkan Rp. 25,00 per kg.6
Purwahid Patrik lebih memperinci lagi unsur-unsur kerugian. Menurut Patrik, kerugian terdiri dari dua unsur :
a. Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi
b. Keutungan yang tidak peroleh (lucrum cessans) meliputi bunga.
Kadang-kadang kerugian hanya merupakan kerugian yang diderita saja, tetapi kadang-kadang meliputi kedua-dua unsur tersebut.
Satrio melihat bahwa unsur-unsur ganti rugi adalah :
a. Sebagai pengganti daripada kewajiban prestasi perikatannya
b. Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya
c. Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur oleh karena keterlambatan prestasi dari kreditur.
d. Kedua-duanya sekaligus jadi sini dituntut baik pengganti kewajiban prestasi pokok perikatannya maupun ganti rugi keterlambatannya.
3.      Sebab-Sebab Kerugian
Dari pengertian kerugian pada sub bab sebelumnya dapat kita lihat bahwa kerugian adalah suatu pengertian kausal, yakni berkurangnya harta kekayaan (perubahan keadaan berkurangnya harta kekayaan), dan diasumsikan adanya suatu peristiwa yang menimbulkan perubahan tersebut. Syarat untuk menggeserkan kerugian itu kepada pihak lain oleh pihak yang dirugikan adalah bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh pelanggaran suatu norma oleh pihak lain tersebut.
Menurut Nurhayati Abas, ganti kerugian harus memenuhi beberapa sebab:
a. Harus ada hubungan kausal
b. Harus ada adequate
kreditur mempunyai kewajiban untuk berusaha membayar kerugian yang timbul sampai batas-batas yang patut. Kalau kreditur tidak berusaha membatasi kerugian itu maka akibat dari kelalaiannya tidakdapat dibebankan kepada debitur.Ketentuan ini juga berkaitan dengan prinsip dapat digugat dan hubungan adequat.
a. Hubungan Sine Qua Non (Von Buri)
Syarat pertama untuk membebankan kerugian pada orang lain adalah bahwa telah terjadi pelanggaran norma yang dapat dianggap sebagai condicio sine qua non kerugian tersebut.
Menurut teori ini suatu akibat ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang tidak dapat ditiadakan untuk adanya akibat tersebut.Berbagai peristiwa tersebut merupakan suatu kesatuan yang disebut “sebab”.
Nieuwenhuis memberikan contoh menarik untuk ini :
C menyewakan sejumlah kamar kepada beberapa orang, termasuk A dan B. Kamar-kamar tersebut terletak di atas ruang konfeksi milik C. Menurut kontrak sewa, para penyewa dilarang menggunakan alat masak listrik. Dalam urutan kronologis terjadi yang berikut ini: 11
a. A menghubungkan alat listrik pemasak air dengan jaringan listrik.
b. B menggunakan alat listrik pemanas air dalam kamar mandi, yang menyerap tenaga listrik yang sama.
c. Aliran listrik terhenti dan mesin-mesin jahit listrik di ruang konfeksi C terhenti.
Apa yang menjadi “penyebab” berhentinya mesin-mesin jahit listrik tersebut? Mesin-mesin itu tidak akan berhenti andaikata A tidak menggunakan alat listrik pemanas air, Jadi tingkah laku A berpengaruh terhadap berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Peristiwa a merupakan syarat untuk timbulnya peristiwa c. Dalam artinya bahwa tanpa a, c tidak akan terjadi (condicio sine qua non).
Kalau “penyebab” dirumuskan sebagai tiap peristiwa, yang tanpa peristiwa tersebut peristiwa lain tidak akan terjadi, maka b juga merupakan “penyebab” berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Anadaikata B tidak menggunakan alat pemanas air di kamar mandi, maka tidak akan ada kelebihan beban listrik dan mesin-mesin jahit itu tidak akan berhenti. Jadi, meskipun peristiwa a dan b kedua-duanya merupakan conditio sine qua non untuk peristiwa c, namun ahli hukum hanya mengkualifikasikan perbuatan A sebagai penyebab berhentinya mesin-mesin jahit tersebut dan kerugian yang ditimbulkan, karena baginya yang penting adalah menetapkan apakah kerugian dapat dibebankan pada orang lain daripada yang dirugikan. Karena ini hanya mungkin jika kerugian adalah akibat pelanggaran norma oleh orang lain itu, maka ahli hukum hanya menaruh minat akan syarat-syarat untuk timbulnya kerugian dimana terdapat pula pelanggaran norma hukum. Penyebab dalam arti yuridis dalam situasi di atas hanya penggunaan alat pemanas air minum oleh A (yang dilarang) meskipun perbuatan B dalam ukuran yang sama turut berperan dalam timbulnya kerugian.
b. Hubungan Adequat (Von Kries)
Kerugian adalah akibat adequat pelanggaran norma apabila pelanggaran norma demikian meningkatkan kemungkinan untuk timbulnya kerugian demikian. Inilah inti ajaran penyebab yang adequat.
Teori ini berpendapat bahwa suatu syarat merupakan sebab, jika menurut sifatnya pada umumnya sanggup untuk menimbulkan akibat. Selanjutnya Hoge Raad memberikan perumusan, bahwa suatu perbuatan merupakan sebab jika menurut pengalaman dapat diharapkan / diduga akan terjadinya akibat yang bersangkutan. Ajaran ini mencampur adukkan antara causalitet dan pertanggunganjawaban.
Hoge Raad menganut ajaran adequate.Hal ini ternyata dari arrest-nya tanggal 18 November 1927, dimana dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan akibat yang langsung dan seketika adalah akibat yang menurut aturan-aturan pengalaman dapat diharapkan terjadi.
4. Wujud Ganti Rugi
Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu.Hoge Raad malahan berpendapat, bahwa penggantian “ongkos, kerugian, dan bunga” harus dituangkan dalam sejumlah uang tertentu.Namun jangan menjadi rancu; kreditur bisa saja menerima penggantian in natura dan membebaskan debitur. Yang tidak dapat adalah bahwa debitur menuntut kreditur agar menerima ganti rugi dalam wujud lain daripada sejumlah uang.
Pendapat seperti itu dengan tegas dikemukakan, ketika Hoge Raad menghadapi masalah tuntutan ganti rugi dari seorang yang minta kepada toko perhiasan, agar perhiasan yang ia beli daripadanya diperbaiki, tetapi perbaikan itu ternyata malah menimbulkan kerusakan dan kerugian lebih parah lagi. Hof memutuskan bahwa pemilik toko perhiasan harus mengganti kerugian, dengan cara mengembalikan harga yang dulu dibayar oleh pembeli dan pembeli mengembalikan perhiasannya. Cara perhitungan ganti rugi seperti ini tidak dibenarkan oleh Hoge Raad.Ganti rugi harus diwujudkan dalam sejumlah uang.
Pitlo berpendapat bahwa undang-undang kita tidak memberikan dasar yang cukup kuat untuk kita katakan, bahwa tuntutan ganti rugi hanya dapat dikemukakan dalam sejumlah uang tertentu.12 Alasan pokoknya sebenarnya adalah bahwa berpegang pada prinsip seperti itu banyak kesulitan-kesulitan dapat dihindarkan. Anehnya, kalau ganti rugi itu berkaitan dengan onrechtmatige daad, maka syarat “dalam wujud sejumlah uang” tidak berlaku, karena Hoge Raad dalam kasus seperti itu membenarkan tuntutan ganti rugi dalam wujud lain.
Walaupun demikian hal itu tidak berarti, bahwa untuk setiap tuntutan ganti rugi kreditur harus membuktikan adanya kepentingan yang mempunyai nilai uang. Hal itu akan tampak sekali pada perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, dimana pelanggarannya biasanya menimbulkan kerugian yang sebenarnya tidak dapat dinilai dengan uang.
Sering pula muncul pada tuntutan ganti rugi atas dasar onrechtmatige daad. Namun adanya ganti rugi atas kepentingan yang tidak dapat dinilai dengna uang, secara tegas-tegas diakui, seperti pada pasal 1601w KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
“ Jika salah satu pihak dengan sengaja atau karena salahnya telah berbuat melawan dengan salah satu kewajibannya dan kerugian yang karenanya diderita oleh pihak lawan tidak dapat dinilaikan dengan uang, maka Hakim akan menetapkan suatu jumlah uang menurut keadilan, sebagai ganti rugi”.
Lebih dari itu Pitlo secara tegas mengatakan bahwa kehilangan kesempatan menikmati kesegaran hidup (gederfde levensvreugde) dapat menjadi dasar untuk tuntutan ganti rugi; demikian juga kehilangan nilai-nilai affectie. Tuntutan ganti rugi (kerugian idiil) sebesar f. 600,00 oleh seorang komponis atas dasar telah dibawakannya lagu ciptannya dalam suatu pertunjukan komersial (dengan memungut bayaran) tanpa mendapat izinnya lebih dahulu telah dikabulkan oleh Raad van Justite Batavia dalam keputusannya tanggal 11 Maret 1927. Dengan demikian di sini dasar pemikirannya bukannya tidak boleh memberikan ganti rugi kepada kerugian yang berwujud lain, tetapi karena kerugian yang berwujud lain itu tidak dapat diganti dengan uang.
Jadi yang dimaksud bukannya sifat dari kepentingan yang dirugikan, tetapi apakah yang dirugikan bisa dipulihkan dengan pembayaran ganti rugi sejumlah uang.Kalau bisa maka hal itu berarti, bahwa kerugian itu bisa dinilai dengan uang. Untungnya pengadilan dalam hal ini tidak mengambil sikap yang kaku; rasa sakit bisa dihilangkan atau dikurangi dengan pemberian obat (yang dibayar dengan sejumlah uang), kebutaan dibantu dengan seorang penuntun (yang harus dibayar secara berkala), kenikmatan estetika bisa diganti dengan kenikmatan sejenis yang lain (yang harus dibeli atau dibayar dengan sejumlahuang). Konsekuensinya, Hakim tidak berhak menetapkan ganti rugi sejumlah uang tertentu atas kerugian, kalau bagaimanapun dengan uang itu (kerugian) tidak akan dapat dikurangi atau diperbaiki, kecuali sudah tentu kalau undang-undang sendiri membolehkan hal seperti itu.
5. Bentuk-Bentuk Kerugian
Bentuk-bentuk kerugian dapat kita bedakan atas dua bentuk yakni :
a. Kerugian materiil
b. Kerugian immateriil
Undang-undang hanya mengatur penggantian kerugian yang bersifat materiil.Kemungkinan terjadi bahwa kerugian itu menimbulkan kerugian yang immateriil, tidak berwujud, moril, idiil, tidak dapat dinilai dengan uang, tidak ekonomis, yaitu berupa sakitnya badan, penderitaan batin, rasa takut, dan sebagainya.
Sulit rasanya menggambarkan hakekat dan takaran obyektif dan konkrit sesuatu kerugian immateriil. Misalnya: bagaimana mengganti kerugian penderitaan jiwa. Si A berjanji kepada si B untuk menjual cincin berlian sekian karat.Ternyata berlian itu palsu yang mengakibatkan kegoncangan dan penderitaan batin bagi si B. Bagaimana memperhitungkan kerugian penderitaan batin dimaksud? Sekalipun memang benar menentukan hakekat dan besarnya kerugian non-ekonomis, ganti rugi terhadap hal ini pun dapat dituntut. Penggantiannya dialihkan kepada suatu perhitungan yang berupa “pemulihan”.Biaya pemulihan inilah yang diperhitungkan sebagai ganti rugi yang dapat dikabulkan oleh hakim.
Seperti dalam contoh di atas, tentu tidak dapat diganti kegoncangan jiwa yang diderita oleh si pembeli tersebut.Tetapi debitur dapat “dibebankan” sejumlah biaya pengobatan rehabilitasi.Misalnya ongkos dokter dan biaya sanatorium.Sampai benar-benar si kreditur itu pulih kembali.Atau kalau kita ambil kecelakaan yang semakin merajalela di jalan raya. Karena kesalahan dan kecerobohan , A menabrak B sehingga kakinya harus diamputasi. Tak mungkin debitur mesti mengganti kaki yang dipotong itu.Bagaimana mengherstel kaki yang sudah dipotong.Yang rasional ialah sejumlah ganti rugi kebendaan berupa uang. Ini sesuai pula dengan ketentuan pasal 1371 KUHPerdata yang menyatakan : cacat atau puntung pada bagian badan / tubuh yang dilakukan dengan “sengaja” atau oleh karena “kurang hati-hati”, memberi hak kepada orang itu menuntut “bayaran” di luar biaya pengobatan. Dari pasal ini dapat ditarik kesimpulan si korban dapat menuntut ganti rugi “kebendaan” atau kerugian yang non-ekonomis, yang terdiri dari :
- sejumlah biaya pengobatan ;
- dan sejumlah uang bayaran sesuai dengan keadaan cacat yang diderita.
Mengenai ukuran uang bayaran cacat di luar pengobatan tadi, dinilai atas dasar “kedudukan dan kemampuan” kedua belah pihak, sambil memperhatikan hal ihwal kejadian itu sendiri.
Akan tetapi tidak setiap kerugian ekonomis mesti diganti dengan suatu yang bersifat kebendaan yang bernilai uang.Malah kadang-kadang lebih tepat diganti dengan hal-hal yang bersifat non-ekonomis pula. Umpamanya “hak perseorangan” (persoonlijkerechten) : integritas pribadi, kebebasan pribadi, memulihkan nama baik dan sebagainya. Dalam hal ini pemulihan atau rehabilitasi hak asasi perseorangan tadi, jauh lebih efektif dari pada penilaian ganti rugi uang.
Namun di luar hal-hal yang tersebut tadi biasanya ganti rugi non-ekonomis lebih sempurna bila diganti dengan sejumlah uang sebagai alat rehabilitasinya.Asal benar-benar jumlah ganti rugi tadi “efektif” banyaknya sesuai dengan perhitungan yang memungkinkan tercapainya hasil pemulihan yang mendekati keadaan semula.Misalnya pengobatan sanatorium disamping biaya pemulihan dan kehidupan selanjutnya, haruslah benar-benar efektif nilainya (effectieve waarde).
Kesimpulan :
Ganti rugi sebagai akibat pelanggaran norma, dapat disebabkan karena wanprestasi yang merupakan perikatan bersumber perjanjian dan perbuatan melawan hukum yang merupakan perikatan bersumber undang-undang. Ganti rugi sebagai akibat wanprestasi yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat juga diberlakukan bagi ganti rugi sebagai akibat perbuatan melawan hukum.Mengingat adanya bentuk kerugian materiil dan imateriil, maka wujud ganti rugi dapat berupa natura (sejumlah uang) maupun innatura.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1977.
Harahap M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.
Meliala Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007.
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.
Nieuwenhuis J.H., terjemahan Djasadin Saragih, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Airlangga University Press, Surabaya, 1985.
Patrik Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994.
Satrio J., Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Alumni, Bandung, 1999.
Sumber :

Review Jurnal Subjek dan Objek Hukum

1. Anggit Danisa 20210841
(visit her blog's here) 
2. Bunga Restarina 21210491
(visit her blog's here)
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
(visit her blog's here)
4. Maulana 24210261
(visit his blog's here )
5. Supra Andalini F S 26210742
 
 
Judul   : PERSAMAAN PERKREDITAN PERBANKAN KONVENSIONAL DAN PEMBIAYAAN SYARIAH
Pengarang : H.M. Mawardi Muzamil 
 
Abstrak :  
     Persamaan perkerditan pada perbankan konvensional dan pembiayaan berdasarkan Syariah dapat dilihat melalui antara lain : subyek, objek, hubungan hokum, hak-kewajiban, serta peristiwa hokum yakni : bentuk perjanjian, sifat perjanjian, jaminan, tujuan, serta klausula – klausulanya.   
Pendahuluan :
     Krisis moneter yang dimulai tahun 1997 sebagai akibat masalah permodalan, membengkaknya kredit macet, pelanggaran-pelanggran batas maksimal pemberian kredit, hingga negatif spread, semuanya menandai coreng morengnya bisnis Perbankan Indonesia.  Begitu parahnya krisis tersebut maka pemerintah berketetapan menjadikan agenda penyehatan perbankan sebagai prioritas utama dalam reformasi ekonomi Indonesia.
     Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah adalah dikeluarkannnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang0Undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
     Sementara itu perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan semakin komplek, maka perlu pernyesuaian kebijaksanaaan di bidang ekonomi termasuk sector Perbankan yaitu dengan dikeluarkannya Undang –Undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan.
     Disamping berkeinginan untuk penyempurnaan system Perbankan Nasional juga berkeinginan menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat dengan meningkatkan peran bank yang menyelenggarakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada Bank Umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikenal dengan dual system. Sedangkan Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usahanya konvensional tidak diperkenankan melakukan kegiatan berdasarkan  Prinsip Syariah , sebaliknya bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang melaksanakaan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah tidak diperkenankan melakukan kegiatan secara konvensional.
Pembahasan :
     Bank Syariah sering disebut Bank Islam Istilahnya Syariah maupun Islam secara akademis memang berbeda namun secara teknis penyebutan Bank Syariah mempunyai perngertian sama. Secara yuridis menyebutkan yang paling benar berdasarkan Undang-Undang nomor : 10 tahun 1999 adalah Bank Umum Syariah atau Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Disamoing itu kegiatan Bank Syraiah itu harus berpedoman pada ketentuan Hukum Islam yaitu Alqur’an dan Hadist
     Perjanjian Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari’ah pada Bank Umum maupun  BPRS mempunyai keunikan system tersendiri,ia bukan saja comprehensive tetapi juga universal. Sebagai salah satu system maka terdapat persamaan serta perbedaan substantive antara Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat berdasar Syariah dengan Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat Konvensional yang berdasarkan Bunga.
     Dalam kesempatan lain Soerjono Sukanto (1981,hal 72) menyatakan pengertian dasar dari suatu system hokum tersebut adalah : subyek hokum, obyek hokum, hak dan kewajiban, peristiwa hokum, dan hubungan hokum.
     Adapun kerangka dasar tersebut terdiri dari komponen – komponen pokok dari suatu system hokum yakni :
a.       Subyek hokum, yaitu setiap pihak yang menjadi pendukung hak.
b.      Obyek hokum yakni segala sesuatu yang dapat menjadi obyek  suatu hubungan hokum.
c.       Hubungan hokum yakni hunungan yang diatur oleh hokum.
d.      Hak yang bersifat voluntary dan kewajiban compulsory
e.      Peristiwa hokum yakni peristiwa – peristiwa social yang membawa akibat yang diatur oleh hokum (Soekamto, 1978,hal. 71-72).
     Dilihat dari subyek hokum antara Bank Konvensional dan Bank Syariah terdapat persamaan yakni pihak-pihak yang melakukan perbuatan hokum ini dapat berupa orang / perorangan atau sekumpulan. Orang atau orang – orang dalam pengertian kelompok orang seorang baik beragama Islam tanpa perbedaan, serta perkumpulan.
     Dalam hal pemohon pembiayaan pada Bank Syariah yang benbentuk badan hokum, maka disyaratkan melampirkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.
     Sedang dilihat dari objek antara Bank Konvensional dan Bank Syariah persamaannya adalah berupa uang (kecuali pada pembiayaan Muharabah yakni jual beli barang maupun Ijarah sewa menyewa).
     Dilihat dari hak dan kewajiban antara Bank Syariah maupun Bank Konvensioanl dengan Nasabah, maka akan terlihat persamaan yaitu adanya sisi tanggung jawabnya, yakni kewajiban yang  terletak pada Bank Syariah itu sendiri dan kewajiban yang menjadi beban dari nasabah pemgambil dana / penerima pembiayaan maupun penyimpan dana sebagai akibat dari hubungan hokum dengan Bank Syariah. Hak dan kewajiban para nasabah Bank Syariah tersebut diwujudkan dalam bentuk prestasi. Prestasi yang harus dipenuhi oleh Bank dan nasabah adalah prestasi yang telah ditentukan dalam akad Pembiayaan antara Bank Syariah dan nasabah terhadap produk perbankan baik berupa bagi hasil maupun jual beli, sewa dan Qordhul Hasan.
     Adapun bentuk perjanjian kredit atau pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Syariah maupun Bank Konvensional adalah semua akad atau perjanjian yakni sama – sama dalam bentuk tertulis baik dengan akta dibawah tangan maupun akta notariel.
     Sedang dalam hal resiko , antara kredit Bank Konvensional dan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari’ah pada Bank syariah keduannya sama sama mengandung resiko yang tinggi sebab kemungkinan kredit / pembiayaanya selalu terjadi resiko kemacetan. Dalam pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, masalah resiko menjadi lebih besar, bila mana nasabah mengalami kerugian. Dalam hal terjadi kerugian yang bukan karena kesengajaan nasabah maka Bank Syariah turut menanggung risiko, secara proporsional. Sedang bilamana nasabah mengalami kerugian yang disebabkan karena kesengajaan dan kelalaian nasabah kerugian ditanggung nasabah sendiri.
     Selanjutnya masalah jaminan, Syariah Islam tidak dilarang bahkan dianjurkan untuk mensyaratkan adanya jaminan. Jaminan yang syaratkan Bank Syariah dalam hal pembiayaan selain dari jaminan pokok yang berupa proyek yang dibiayai atau barang yang dibiayai dengan pembiayaan. Dalam keadaan tertentu disyaratkan pula jaminan tambahan baik personal garansi, maupun hak tanggungan. 
 
Kesimpulan
     Perjanjian Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari’ah pada Bank Umum maupun  BPRS mempunyai keunikan system tersendiri,ia bukan saja comprehensive tetapi juga universal. Sebagai salah satu system maka terdapat persamaan serta perbedaan substantive antara Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat berdasar Syariah dengan Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat Konvensional yang berdasarkan Bunga.
     Hak dan kewajiban para nasabah Bank Syariah tersebut diwujudkan dalam bentuk prestasi. Prestasi yang harus dipenuhi oleh Bank dan nasabah adalah prestasi yang telah ditentukan dalam akad Pembiayaan antara Bank Syariah dan nasabah terhadap produk perbankan baik berupa bagi hasil maupun jual beli, sewa dan Qordhul Hasan.
     Dilihat dari hak dan kewajiban antara Bank Syariah maupun Bank Konvensioanl dengan Nasabah, maka akan terlihat persamaan yaitu adanya sisi tanggung jawabnya, yakni kewajiban yang  terletak pada Bank Syariah itu sendiri dan kewajiban yang menjadi beban dari nasabah pemgambil dana / penerima pembiayaan maupun penyimpan dana sebagai akibat dari hubungan hokum dengan Bank Syariah.
Daftar Pustaka
Bank Indonesia dan UII, 2003, Workshop Pengawasan dan Aspek Syariah dalam Operasionalisasi
     Perbankan syariah dalam Rangka Penyusunan R.U.U tentang Perbankan Syariah, UII. Yogyakarta.
Bank Indonesia, 2002, Perbankan Syariah Dalam Sistem Perbankan Nasional : Suatu Keniscahyaan
     (menyongsong Lahirnya RUU Perbankan Syariah –Kumpulan Makalah) Bank Indonesia, Jakarta
CIC, 1999, laporan Bisnis Indocommercial, CIC,Jakarta.
 
Sumber