Sunday, May 27, 2012

review jurnal hukum perikatan

1. Anggit Danisa 20210841
(visit her blog's here) 
2. Bunga Restarina 21210491
(visit her blog's here)
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
(visit her blog's here)
4. Maulana 24210261
(visit his blog's here )
5. Supra Andalini F S 26210742
 
 
Judul : HUKUM PERIKATAN DALAM KEGIATAN EKONOMI

Pengarang : Yusmedi Yusuf
Abstrak :
Kegiatan perekonomian banyak menggunakan ketentuan hukum perikatan yang timbul dari perbuatan hukum perdata. Perbuatan hukum yang banyak mengandung aspek ekonomi atau perbuatan hukun yang dapat dinilai dengan harta kekayaan pada seseorang dan badan hukum. Perbuatan hukum perikatan dalam perekonomian, asas kebebasan berkontrak terdapat pada pasal 1338 Jo 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pendahuluan :
Hukum bertujuan mengatur berbagai kepentingan manusia dalam rangka pergaulan hidup di masyarakat. Namun kegiatan perekonomian harus berdasarkan kepada dalam perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umu sebagaiman diatur oleh hukum perdata dan hukum dagang ataupun hukum perikatan lainnya yang bersifat khusus dengan memakai asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPER)dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) ataupun Undang-Undang yang bersifat khusus seperti Undang-Undang asuransi Perbankan, Pasar Modal. Undang-Undang yang bersifat khusus adalah melengkapi letentuan dalam hukum perdata sebagai peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lain dalam masyarakat. Dengan adanya hubungan hukum maka terjadi pertalian hubungan subjek hukum dengan objek hukum (hubungan hak kebendaan).
Pembahasan :
Kontrak atau perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Dari peristiwa ini menimbulkan suatu hubungan hukum antara dua orang yang disebut perikatan.
     a. Azas Kebebasan Berkontrak
Perikatan bersumber pada perjanjian dan Undang-Undang (Pasal 1320 jo 1338 KUHper). Pasal 1320 KUHper berisi tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian meliputi :
1. Kesepakatan para pihak
2. Kecakapan para pihak
3. Objek Tertentu
4. Sebab yang halal
b. Subjek Hukum Perikatan
Dalam hubungan hukum dikenal subjek hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Perusahaan perseorangan adalah perusahaan yang didirikan dan dimiliki oleh seorang pengusaha, dalam masyarakat umum dikenal dengan Usaha Dagang dan Perusahaan Dagang. Perusahaan persekutuan adalah perjanjian dua orang atau lebih yang mengikatkan diri untuk masuk dalam persekutuan dengan maksud membagi keuntungan. Firma adalah perusahaan yang terdiri dari beberapa orang persero melaksanakan perusahaannya dengan memakai nama bersama “Firma”. Perseroan Komanditer (CV) adalah suatu perseroan dimana seseorang atau beberapa orang perseroa tidak ikut campur dalam kepengurusan tetaapi hanya memberikan modal saja. Perseroan Terbatas menyatakan bahwa suatu badan hukum yang merupakan persekutuan modal didirikan berdasarkan perjanjian melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang serta peraturan pelaksananya.
c. Perbuatan Hukum Perikatan
1. Jual-beli
2. Sewa-menyewa
3. Asuransi
4. Perbankan
5. Hak Atas Kekayaan Intelektual
6. Perjanjian Kerja
7. Surat Berharga
8. Pasar Modal
d. Objek Hukum Perikatan
Benda merupakan objek hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan benda. Benda dalam pasal 499 KUH per adalah semua barang dan hak. Hak disebut juga bagian dari harta kekayaan. Barang sifatnya berwujud sedangkan hak sifatnya tidak berwujud. Dengan demikian penegrtian benda mencakup barang berwujud dan tidak berwujud(hak). Segala sesuatu yang dapat dijadikan objek hak milik. Semua benda dapat dijual-belikan, disewakan, diwariskan dan atau diperalihkan kepada pihak lain. Hak kebendaan adalah hak yang memberikan kekuasaan secara langsung atas suatu benda dan dapat dipetahankan terhadap siapapun juga.
Kesimpulan :
Dalam uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dapat disimpulkan bahwa subjek perikatan itu sendiri adalah manusia dan badan hukum. Kontrak atau perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Dari peristiwa ini menimbulkan suatu hubungan hukum antara dua orang yang disebut perikatan.Perkumpulan-perkumpulan, asosiasi dan atau dikenal menggunakan hokum perikatan dama kebebasan berkontrak adalah Perusahaan Perseroan, Perusahaan Persekutuan, Persekutuan Komanditer/CV, Perseroan Firma dan Perseroan Terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
 
Naja, HR. Daeng, 2009, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta, Pustaka Yustisia.
Simanjuntak, Emmy Pangaribuan, 1987, Hukum Pertanggungan, Yogyakarta, FH UGM.
Subekti, R. 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa.
Simatupang Richard Burton, 2007, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Cetakan kedua, Jakarta, Rineka Cipta.
Sumber :
 

review jurnal HAKI II

 

1. Anggit Danisa 20210841
(visit her blog's here)   
2. Bunga Restarina 21210491 
(visit her blog's here) 
3. Dian Julia Puspitasari 21210961 
(visit her blog's here) 
4. Maulana 24210261 
(visit his blog's here ) 
5. Supra Andalini F S 26210742
Judul   : TANTANGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI) BAGI PARA INTELEKTUAL DI INDONESIA
Pengarang : NY. Sukarmi
Abstrak :

Masalah birokrasi ini berkaitan erat dengan masalah prosedur keadministrasian yang tentu saja berurusan dengan waktu dan uang. Waktu dibutuhkan oleh seorang penemuan untuk mendaftar patennya pada Kantor Paten yang sangat dirasakan cukup lama yang ada kalanya atau biasa dikatakan justru sering sampai memakan waktu sampai 2 tahun. Demikian juga dengan pendaftaran merek yang membutuhkan waktu sampai 9 bulan. Lamanya proses ini tentunya juga tidak terlepas dari ketidak profesionalan dari ketrampilan yang memadai. masalah HAKI memang merupakan masalah yang khusus, sehingga merekapun harus dibekali dengan ilmu yang khusus pula.
Pendahuluan :
HAKI pada umumnya selalu berhubungan dengan perlindungan penerapan ide dan informasi yang mempunyai nilai komersial, karena HAI adalah kekayaan pribadi yang dapat dimiliki dan dapat diperlakukan sama dengan bentuk-bentuk kekayaan yang lainnya. HAKI ini terdiri dari : Hak Cipta, Merek, Indikasi Geografis, Desain Industri, Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Informasi Rahasia Dagang dan data test serta Varietas Tanaman Terpadu. Perlu diketahui bahwa dampak dari kegiatan ini menghasilkan suatu produk Hak Milik Intelektual merupakan pekerjaaan yang bertujuan untuk menghasilkan uang bagi si pencipta ataupun penemu dalam hal paten.
Pembahasan :
HAKI biasa disebut dalam bahasa asing adalah “Intellectual Property Rights” (Inggris) atau “Geistiges Eigentum” (Jerman) merupakan hak milik dalam wujud lain, bila dibandingkan dengan hak milik yang lain pada umumnya. HAKI merupakan hak milik atas benda tak berujud. HAKI menjadikan karya-karya yang timbul dan lahir karena inspirasi, kemampuan intelektual manusia sebagai inti dan obyek pengaturannya. Sitem yang diberlakukan pada HAKI merupakan hak privat yang merupakan ciri khusus, yang dengan bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektual atau tidak, bersifat eksklusif, yang ini semua diberikan Negara kepada indivisu pelaku HAKI.
A.    Lemahnya Pemahaman Terhadap Rezim HAKI
Banyak memang kalangan intelektual kita yang belum mengerti terhadap arti penting keberadaan dan keraguan atau manfaat dari HAKI. Salah satu cara untuk dapat mengetahui pemahaman masyrakat tentang HAKi adalah dengan melihat, seberapa banyak temuan-temuan yang dihasilkan dan sudah dipatenkan. Ekspor produk Indonesia ke luar negeri akan diragukan keasliannya, karena besar kemungkinan merupakan produk bajakan dari teknologi yang tidak dipatenkan. Sebagai akibat lanjutannya adalah kerugian devisa yang sangat besar dan bagi industriawan tentu merupakan ancaman bagi kelangsungan usahanya, karena marketing dari produknya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Di samping itu pemerintah juga harus segera membuat kebijakan-kebijakan dan memberi dukungan fasilitas serta dana untuk melakukan kegiatan survey, inventarisasi dan penelitian, pemeriksaan serta upaya perlindungan hukumnya dan mengadakan kerjasama dengan semua institusi terkait untuk segera memperoleh data tentang potensi-potensi di daerah yang terkait dengan HAKI. Seperti buah-buahan, makanan minuman, seni dan kerajina yang khas, termasuk merek terkenal dan nama-nama terkenal yang khas yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pendapatan daerah, seperti slah pondih, marquisa, Batik Tulis Solo, dan lain-lain.
B.     HAKI Sebagai Komoditas Bisnis
Bagi Negara-negara yang berpikiran maju, dapat menjadikan HAKI sebagai komoditi bisnis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Bahkan dalam era globalisasi seperti sekarang perdagangan yang menyangkut HAKI memperlihatkan pertumbuhan yang pesat. Di samping itu kerugian yang diderita oleh Negara-negara maju dalam bidang HAKI seperti kerugian dari akibat pelanggaran hukum pembajakan setiap tahunnya 11 milyar dolar Amerika.
C.     Lemahnya Birokrasi dan Profesionalisme
Masalah birokrasi ini berkaitan erat dengan masalah prosedur keadministrasian yang tentu saja berurusan dengan waktu dan uang. Waktu dibutuhkan oleh seorang penemuan untuk mendaftar patennya pada Kantor Paten yang sangat dirasakan cukup lama yang ada kalanya atau biasa dikatakan justru sering sampai memakan waktu sampai 2 tahun. Demikian juga dengan pendaftaran merek yang membutuhkan waktu sampai 9 bulan. Lamanya proses ini tentunya juga tidak terlepas dari ketidak profesionalan dari ketrampilan yang memadai. masalah HAKI memang merupakan masalah yang khusus, sehingga merekapun harus dibekali dengan ilmu yang khusus pula.
Kesimpulan :
Dalam uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa HAKI merupakan hak milik atas benda tak berujud. HAKI menjadikan karya-karya yang timbul dan lahir karena inspirasi, kemampuan intelektual manusia sebagai inti dan obyek pengaturannya. Sitem yang diberlakukan pada HAKI merupakan hak privat yang merupakan ciri khusus, yang dengan bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektual atau tidak, bersifat eksklusif, yang ini semua diberikan Negara kepada indivisu pelaku HAKI.  Situasi mendatang yang merupakan masa-masa yang penuh dengan tantangan dan kompetitif bangi bangsa Indonesia seiring dengan globalisasi pasar. Ekspansi pasar luar negeri ke Indonesia merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan, karenanya merupakan wujud dari perdagangan global yang prinsip-prinsip hukumnya telah diterima oleh Indonesia sebagai Negara yang berdaulat.
DAFTAR PUSTAKA
 
Syafrinaldi, Hukum Hak Milik Intelektual dan Pembangunan, Pekanbaru : Uirpress. 2002.
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual, Bandung : Eresco, 1990.
Tim Lindsey, Hak Mili IntelektualSuatu Pengantar, Bandung : Alumni 2002.
Sumber :

review jurnal sengketa ekonomi


1. Anggit Danisa 20210841
(visit her blog's here) 
2. Bunga Restarina 21210491
(visit her blog's here)
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
(visit her blog's here)
4. Maulana 24210261
(visit his blog's here )
5. Supra Andalini F S 26210742


Judul : Penerapan Fiqih Muamalah Sebagai Dasar Kewenangan Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Pengarang : Hj. Renny Supriyatni, Dosen Tetap Fakultas Hukum Unpad
Abstract
The development of Islamic economic institutions in Indonesia has created the conflict of interest between stakeholder and Religious Court, especially in settlement of syariah-economic disputes. The application of fiqih muamalah in settlement of syariah-economic disputes in Islamic Religious Court, has been the crucial issue in Indonesia positive law . This article will seek to find and determine whether the application of fiqih muamalah as a basis in such dispute settlement is consistent with the Islamic Law Principles. It also examines the implementation of fiqih muamalah that has become an Indonesian positive law. This research applies juridical normative approach. Data collection is gathered from library research complemented by primary from field research. The specification of this research is descriptive analysis, and the data gathered is analyzed in qualitative method.
Pendahuluan
Ekonomi syari’ah hadir dalam ranah sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development, agent of modernization dan hukum sebagai a tool of social engineering.Hal ini seiring dengan perkembangan lembaga ekonomi/keuangan syariah di Indonesia, makaakan ada perbedaan kepentingan (conflict of interest) dengan dunia Peradilan khususnya Peradilan Agama, titik singgung yang dimaksud adalah dalam hal penyelesaian sengketanya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UUPAg.) telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini, dimana salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syari’ah.
Bertambahnya kewenangan Pengadilan Agama tersebut yang belum diimbangi dengan payung hukum (umbrella provision) yang memadai, hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan fungsi yudikatif apabila tidak menemukan payung hukum, tidak sedikit yang mempertimbangkan faktor budaya, baik yang terekam dalam beberapa buku fiqih madzhab ataupun yang hidup dalam masyarakat (the living law). Hal ini merupakan kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya.Oleh karena itu, setiap hakim dalam lingkungan Peradilan Agama dituntut supaya mengembangkan kemampuan ijtihad-nya (rechtvinding). Termasuk dalamkatagori ijtihad disini adalah ia berusaha mencari atau memberikan keputusan hukum yang lebih sesuai dan adil dalam upaya mengembangkan sistem hukum itu sendiri.

Pembahasan
A. Landasan Yuridis Penggunaan Fikih Muamalah Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Peradilan Agama, perkara ekonomi syari’ah termasuk kewenangan Pengadilan Agama.Masalah ekonomi syari’ah merupakan bidang baru dari kewenangan Pengadilan agama yang belum diatur dalam perundang-undangan, namun berdasarkan Pasaltersebut Pengadilan agama memiliki kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya. Dasar hukumnya adalah:
a. Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
b. Tidak ada satupun ketentuan undang-undang yang melarang penerimaan atas ilmu pengetahuan termasuk doktrin fikih muamalah sebagai dasar dalam menyelesaikan sengketa atau perkara.31
c. Kadang-kadang hakim merasa pengetahuannya di bidang hukum masih sangat terbatas, sehingga menganggap perlu mendasarkan putusannya pada pendapat para ahli yang dianggapnya lebih mengetahui.
Seorang hakim mendasarkan putusannya pada pendapat para ahli yang lebih mengerti sebagaimana point tiga (3) di atas mempunyai dua konotasi. Dalam teori hukum Islam (Islamic legal theory), apabila hakim tersebut mendasarkan putusannya kepada pendapat para ahli fikih (imam madzhab/fuqaha) dengan memahami dan mengerti baik cara maupun alasan-alasan yang menjadi dasar yang bersangkutan menetapkan garis-garis hukum terhadap kasus tertentu, maka hakim yang demikian menggunakan cara ittiba’ yaitu mengikuti pendapat madzhab fikih tertentu dengan mengetahui alasan-alasan penetapan hukumnya, dalam ajaran Islam hal ini dibolehkan.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Peradilan Agama menganjurkan atau bahkan menuntut Hakim Agama supaya melakukan ijtihad (rechtvinding). Anjuran ini antara lain dapat dipahami dari teks-teks di bawah ini:
a. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Jo Pasal56 ayat (1) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama;

b. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat …” (Angka 7 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman);
c. Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Para pihak pencari keadilan datang padanya untuk mohon keadilan. Andai kata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum, sebagai seorang hakim yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara” (Penjelasan Pasal14 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
d. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law). Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan rumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat.Untuk itu hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat” (Pasal27 berikut Penjelasannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Konsep hukum Indonesia adalah hukum tertulis sebagaimana hukum yang dianut oleh Eropa Kontinental.Namun pada pelaksanaannya Indonesia tidak murni menganut sistem statut law dan juga tidak menganut sistem common law secara ketat. PasalI aturan Peralihan UUD 1945 menyebutkan:“Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Berdasarkan Pasaltersebut, yang dimaksud dengan hukum adalah hukum yang tertulis atau undang-undang dan bukan kitab yang berisi doktrin-doktrin hukum/fikih. Tetapi ketentuan tersebut bukan merupakan ketentuan yang menutup pintu ijtihad bagi hakim dalam menemukan hukum, sebab konteks tugas hakim berdasarkan Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum (hukum tertulis) tidak ada atau kurang jelas.Dalam Pasal28 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga dinyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.




B. Aktualisasi Fikih Muamalah yang Telah Menjadi Hukum Positif di Indonesia
Hukum Islam yang seperti diformulasikan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) yang bersumber pada fiqih para fuqaha digunakan sebagai acuan pada sistem operasionalisasi prinsip ekonomi syariah yang digunakan oleh para pihak.
Perlu ditegaskan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan lembaga Negara, keberadaan MUI tidak dibentuk berdasarkan undang-undang.Akan tetapi, peran kultural MUI secara kualitatif dan kuantitaif dalam mengembangkan dan menjalankan ekonomi syariah di Indonesia sangatlah besar. Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid. Artinya, kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan,seperti dalil bagi mujtahid.37Apabila kedudukan fatwa dilihat dari aspek kajian ushul fiqh, maka kedudukan fatwa hanya mengikat orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa.38Namun dalam konteks ini, teori itu tidak dapat sepenuhnya dapat diterima karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik.
Pada saat ini, fatwa ekonomi syari’ah DSN tidak hanya mengikat bagi para praktisi lembaga ekonomi syari’ah melainkan juga bagi warga masyarakat Islam Indonesia. Apalagi saat ini fatwa-fatwa tersebut telah dijadikan hukum positif melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, sebagaimana tercantum dalam dalam Pasal1 angka (12) yang berbunyi “ Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.”Selain fatwa-fatwa tentang ekonomi syari’ah terdapat beberapa peraturan yang berkenaan dengan fikih muamalah dalam bidang ekonomi yang telah menjadi hukum posistif di Indonesia dan menjadi acuan hakim dalam memutus perkara sengketa ekonomi syariah, diantaranya sebagai berikut:
1. UU No. 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
2. UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Label halal);
3. UU No. 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat.
4. UU. Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
5. UU Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
6. UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN);
7. UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
8. UU. Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama;
9. P.P. No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik;
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2005 Tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah
11. PP. Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Wakaf Tunai
12. PERMA No. 2 Tahun 2008 tentang Ekonomi Syariah.
Mengingat fatwa-fatwa dan peraturan perundang-undangan di atas belum meliputi seluruh item ekonomi syari’ah sebagaimana yang termaktub dalam Pasal49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, maka hakim di Peradilan Agama juga perlu mempelajari 13 kitab-kitab fiqih yang dianjurkan oleh Menteri Agama RI melalui Biro Peradilan Agama berdasarkan Surat Edaran Nomor B/1/735 Tahun 1958.
Kesimpulan
Pengaturan penggunaan fikih muamalah dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama sebagai acuan hakim dalam menyelesaikan sengketa diperbolehkan mengingat belum adanya peraturan perundangan yang secara umum mengatur tentang ekonomi syari’ah.Oleh karena itu guna memberikan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum di masyarakat yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah.
Aktualisasi fikih muamalah, bagian-bagian materil Syariat Islam yang telah menjadi hukum positif (Perundang-Undangan yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah) di Indonesia adalah Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, PERMA No 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah serta Peraturan-peraturan lain seperti Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah. Fatwa-fatwa MUI yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi syariah yaitu fatwa Nomor No. 01/DSN-MUI/IV/2006, No. 53/DSN-MUI/IV/2006.Peraturan perundang-undangan dan fatwa-fatwa tersebut menjadi dasar pelaksanaan kegiatan dibidang ekonomi syari’ah terutama pada bank-bank syari’ah atau bank-bank konvensional yang membuka cabang syari’ah.
Sumber jurnal http://isjd.pdii.lipi.go.id/

review jurnal hukum perjanjian


1. Anggit Danisa 20210841
(visit her blog's here) 
2. Bunga Restarina 21210491
(visit her blog's here)
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
(visit her blog's here)
4. Maulana 24210261
(visit his blog's here )
5. Supra Andalini F S 26210742


Judul   : ASPEK HUKUM PERJANJIAN PERDAGANGAN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pengarang : Asmadinata
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek hukum perjanjian transaksi eletronik dalam hukum perdagangan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penerapan hukum yaitu penelitian tentang perilaku dalam pelaksanaan suatu aturan hukum yang semestinya. Adapun penelitian ini lebih berfokus pada penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek hukum perjanjian perdagangan dalan transaksi eletronik dapat diterapkan atau diadopsi dalam peraturan perundangan yang berlaku dengan mengacu pada kaidah-kaidah hukum perdagangan yaitu dengan menggunakan asas konsensualitas dimana kesepakatan sebagai suatu hal yang menjadi dasar adanya perikatan dalam perjanjian perdagangan artinya apa yang telah disepakati oleh para pihak dalam perdagangan dengan model transaksi elektronik menjadi hukum dan mengikat bagi para pihak walaupun belum secara konkrit diatur oleh undang-undang.
Pendahuluan :
Semakin konvergennya (keterpaduan) perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi dewasa ini, telah mengakibatkan semakin beragamnya pula aneka jasa-jasa fasilitas telekomunikasi yang ada serta semakin canggihnya produk teknologi informasi yang mampu mengintegrasikan semua media informasi. Di tengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu dengan semakin populernya internet seakan telah membuat dunia semakin menciut dan semakin memudarkan batas-batas Negara berikut kedaulatan dan tatanan masyarakatnya.
Ironisnya dinamika masyarakat Indonesia yang masih baru tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat industry dan masyarakat informasi seolah masih tampak premature untuk mengiringi perkembangan teknologi tersebut.
Pembahasan :
Dikarenakan belum adanya aturan perundangan (hukum positif) yang mengatur transaksi perdagangan dengan model transaksi elektronik tersebut maka dalam pembahasan tersebut penulis membatasi pada beberapa aspek hukum dalam perdagangan di Indonesia yaitu dengan menggunakan perspektif hukum perjanjian yang berlaku termasuk juga dari KUHP Perdata yang menjadi dasar atau sumber dari perikatan untuk adanya kesepakatan melakukan transaksi perdagangan yang selama ini telah digunakan sebagai dasar dari transaksi perdagangan konvensional.
Sementara untuk acuan yuridis dari transaksi elektronik maka penulis mengacu pada UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce 1996. Aspek hukum perjanjian tersebut adalah :
1.      Perjanjian dalam perdagangan
Pada dasarnya prinsip-prinsip atau kaidah yang fundamental dalam perdagangan internasional mengacu pada 2 prinsip yaitu :
a.       Prinsip Freedom of Commerce atau prinsip kebebasan berniaga.
Niaga dalam artian disini mencakup segala kegiatan yang berkaitan dengan perekonomian dan perdagangan. Jadi setiap Negara memiliki kebebasan untuk berdagang dengan pihak atau Negara manapun di dunia.
b.      Prinsip Freedom of Communication
Bahwa setiap Negara memiliki kebebasan untuk memasuki wilayah Negara lain, baik melalui darat atau laut untuk melakukan transaksi perdagangan internasional.
Masalah mengenai kaidah-kaidah fundamental sebagian besarnya didasarkan pada perjanjian-perjanjian dan juga sebagian lain pada hukum kebiasaan internasional. Karena itu pula sepanjang perjanjian-perjanjian tersebut sifatnya tidak begitu universal, sangatlah sedikit norma-norma khusus hukum perdagangan internasional yang dianggap sebagai “fundamental”. Kesulitan dalam menetapkan atau menyatakan karakteristik kaidah-kaidah hukum ekenomi internasional ini sebagai “fundamental” juga berasal dari karakteristik disiplin hukum ekonomi internasional itu. Yakni begitu luasnya perbedaan-perbedaan system ekonomi nasional. System hukum Indonesia tentang perjanjian diatur dalam pasal-pasal buku III BW tentang perikatan.
Dari apa yang telah diuraikan di atas dengan kata lain di dalam transaksi eletronik para pihak yang melakukan kegiatan perdagangan hanya berhubungan melalui suatu jaringan public yang dalam perkembangan terakhir menggunakan media internet. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa e-commerce yang dilakukan dalam koneksi ke internet adalah merupakan bentuk transaksi beresiko tinggi yang dilakukan di media yang tidak aman.
2.      Legalitas perjanjian perdagangan
Menurut pasal 1320 KUHPerdata sahnya suatu perjanjian meliputi syarat subyektif dan syarat objektif. Syarat subyektif adalah : 1. Kesepakatan dan 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Sedangkan syarat objektif adalah : 1. Suatu hal yang tertentu (objeknya harus jelas) dan 2. Merupakan suatu kausa yang halal (tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum)
Syarat sahnya perjanjian kesepakatan antara para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Kesepakatan inilah yang menjadikan perbuatan tersebut dapat dilaksanakan kedua belah pihak tanpa adanya paksaan dan kewajiban yang mutlak setelah perjanjian ini disepakati, sehingga ini akan melahirkan sebuah konsekuensi hukum bagi keduanya untuk mentaati dan melaksanakannya dengan sukarela. Berkaitan dengan perikatan yang lahir berdasarkan perjanjian, J. Satrio mengatakan bahwa perjanjian adalah sekelompok/sekumpulan perikatan yang mengikat para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan.
Perjanjian dalam transaksi elektronik sebenarnya tidak berbeda hanya saja perjanjian tersebut dilakukan melalui media elektronik, syarat sahnya perjanjian pun dilakukan dengan proses penawaran hingga terjadi kesepakatan.
Kesimpulan :
Bahwa aspek hukum perjanjian dalam transaksi elektronik dapat diterapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku dengan mengacu pada kaidah hukum perdagangan yaitu dengan menggunakan asas konsensualitas dimana kesepakatan sebagai suatu hali yang menjadi dasar adanya perikatan dalam perjanjian perdagangan artinya apa yang telah disepakati oleh para pihak dalam perdagangan dengan model transaksi elektronik menjadi hukum dan mengikat bagi para pihak walaupun belum secara konkrit diatur oleh undang-undang
Bahwa kepastian atas subjek dan objek hukum perdagangan menjadi hal yang diharapkan terkait dengan segala aspek hukumnya, khususnya mengenai legalitas dari suatu perjanjian perdagangan menjadi prosedur resmi adanya formalitas kesepakatan suatu perikatan.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Haula, Hukum Ekonomi Internasional ; Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada Jakarta 1997.

review jurnal hukum dagang


1. Anggit Danisa 20210841
(visit her blog's here) 
2. Bunga Restarina 21210491
(visit her blog's here)
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
(visit her blog's here)
4. Maulana 24210261
(visit his blog's here )
5. Supra Andalini F S 26210742


Judul   : PROBLEM HUKUM DALAM TRANSAKSI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Pengarang : Suparwi
Abstrak :
Salah satu bagian dari hukum jual beli yang seringkali menimbulkan kasus-kasus hukum dalam praktek adalah aspek perjanjian jual beli yang dilakukan secara internasional atau dalam transaksi perdagangan internasional, yaitu jual beli antara para pihak yang berbeda pada Negara yang berbeda. Memang perjanjian jual beli secara internasional akan mengundang hal-hal yang berbeda dengan jual beli secara domestic.
Perdagangan antar Negara ini sebenarnya sudah ada sejak jaman dahulu meskipun dilakukan secara langsung antara penjual dan pembeli serta pembayarannya dilaksanakan di tempat transaksi berlangsung. Dalam perdagangan internasional, pihak penjual lazimnya disebut eksportir dan pihak pembeli disebut importer. Hubungan perdagangan itu telah terjadi jika pihak penjual maupun pembeli telah mencapai kesepakatan dalam transaksi jual beli. Lazimnya kesepakatan terjadi oleh kedua belah pihak terutama mengenai system pembayaran yang dipakai umumnya adalah Letter of Credit atau jaminan bersyarat.
Pendahuluan :
Adanya interpendensi kebutuhan itulah yang menyebabkan adanya perdagangan internasional. Masing-masing memiliki keunggulan dan disisi lain juga memiliki kekurangan. Dapat terjadi hasil produksi suatu Negara berlebih atau sebaliknya membutuhkan komoditas lain yang belum dapat diproduksi di negaranya, mungkin juga belum dapat dipakai langsung karena masih berupa bahan mentah yang memerlukan proses produksi lebih lanjut. Bahan mentah tersebut selanjutnya mungkin dibutuhkan Negara lain sebagai bahan baku pabriknya.
Pembahasan :
a.       System pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional
Cara pembayaran dengan L/C adalah yang paling ideal karena resiko bagi eksportir dan importer dapat dialihkan oleh bank. L/C secara mudah dapat diartikan sebagai “jaminan pembayaran bersyarat” yang merupakan surat yang diterbitkan oleh bank atas permintaan importer yang ditujukan kepada bank lain di Negara eksportir untuk kepentingan pihak eksportir dimana eksportir diberi hak untuk menarik wesel-wesel atas importer yang bersangkutan sebesar jumlah uang yang disebutkan dalam surat itu.
Jadi dalam L/C ada berbagai pihak yang terlibat yaitu :
1.      Opener (Applicant) yaitu importir
2.      Opening bank (Issuing bank) yaitu bank devisa tempat importir membuka L/C
3.      Advising bank yaitu bank yang menjadi koresponden issuing bank di Negara eksportir
4.      Beneficiary yaitu eksportir
5.      Negotiating bank yaitu bank dimana benefiary dapat menguangkan dokumen ekspor tersebut. Sering terjadi advising bank dan negotiating bank ada pada bank yang sama.
Pemilihan jenis L/C selain mempertimbangkan resiko tentunya juga bergantung pada perjanjian dan kesepakatan yang diambil pada saat dilakukan korespondensi transaksi ekspor-impor. Pengaruh bargaining power masing-masing pihak juga sangat menentukan L/C yang disepakati.
Kendala-kendala yang dialami dalam transaksi perdagangan internasional
1.      Masalah produksi
Ada beberapa hal yang memerlukan perhatian khusus dalam masalah produksi antara lain :
a.       Desain, tipe atau model dari komoditi yang akan diekspor harus sesuai dengan perkiraan “selera” calon pembeli.
b.      Kapasitas
c.       Mutu komoditi
2.      Masalah pemasaran
Kunci keberhasilan ekspor bergantung pada pemasaran. Produk yang berlimpah tidak aka nada artinya jika tidak ada pembeli, tetapi menemukan pembeli juga bukanlah pekerjaan yang mudah, kita dihadapkan pada dua hal yang pokok yang harus dicarikan jalan keluarnya :
a.       Menentukan pasar atau menentukan calon pembeli
b.      Menentukan saluran pemasaran (marketing cannel)
3.      Masalah penanganan ekspor
Tujuan akhir dari upaya pemasaran adalah menentukan pembeli. Kalau pembeli sudah ketemu, disana sudah sesuai dengan selera pembeli, harga dan mutu sudah disepakati, waktu pengiriman barang sudah direncanakan, kontrak sudah ditandatangani, dan L/C sebagai sarana untuk pembayaran sudah diterima pula, masih ada lagi hal-hal yang perlu diurus yaitu :
1.      Barang yang harus dipersiapkan untuk “ready for export”
2.      Pengepakan harus sesuai dengan layak
3.      Kubikasinya harus sesuai dengan ukuran standar peti kemas supaya ongkos angkutnya rendah
4.      Perusahaan pelayanan harus dihubungi untuk membukukan muatan
5.      Pemberitahuan ekspor barang harus dipersiapkan dengan bank devisa dan bea cukai
6.      Dokumen pengapalan harus dipersiapkan
4.      Masalah fasilitator ekspor
Daya saing suatu komoditi ditentukan oleh factor langsung dan tidak langsung. Factor langsung diantaranya adalah mutu komoditi, harga, waktu penyerahan, intensitas promosi, saluran pemasaran, dan layanan purna jual. Sedangkan factor tidak langsung misalnya fasilitas ekspor dan subsidi pemerintah.
Kesimpulan :
Dalam transaksi perdagangan internasional lazimnya cara pembayaran yang sering kali digunakan oleh importir dan eksportir adalah Letter of Credit atau “jaminan bersyarat”. Dengan menggunakan L/C lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak karena dengan melalui L/C resiko dalam transaksi pembayaran mereka dapat dialihkan oleh bank.
DAFTAR PUSTAKA
Moerjono, Transaksi Perdagangan Luar Negeri, Documentary Credit & Devisa, Liberty, Yogyakarta.
Sembiring Santoso, Hukum Dagang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Rambe Manalu, Paingot, Hukum Dagang Internasional, Novindo Pustaka Mandari, Jakarta, 2000.